WARTAETAM.com - DI antara semua anak Soekarno dari pernikahan dengan Fatmawati, bisa dibilang hanya Megawati Soekarnoputri yang karier politiknya paling berkibar. Partai yang dia pimpin, PDI Perjuangan (PDIP), memenangi tiga dari lima pemilihan umum di era reformasi atau pasca kejatuhan Soeharto pada 1998.
Mega (sapaan Megawati Soekarnoputri) juga pernah menduduki kursi RI-1. Adapun dua adiknya, Sukmawati Soekarnoputri yang mencoba menghidupkan PNI Marhaenisme dan Rachmawati Soekarnoputri di Partai Pelopor, memiliki karier politik yang meredup. Layu sebelum berkembang.
Di level cucu, saat ini juga hanya Puan Maharani, putri Mega dari pernikahan dengan Taufiq Kiemas, yang berada di jajaran elite partai dan perpolitikan nasional. Dia ketua DPR. Sementara Puti Guntur, putri Guntur Soekarnoputra, kakak Megawati; dan Muhammad Prananda Prabowo, kakak Puan; lebih banyak berkiprah di panggung kedua.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, tidak banyaknya anak-cucu Soekarno yang eksis dalam politik nasional sangat bisa dimaklumi. Sebab, sejak awal kemunculan hingga sepanjang karier politiknya, Soekarno tidak memunculkan kesan ketokohan keluarga, oligarki, atau politik dinasti. ”Imbasnya, masyarakat Indonesia yang mengagumi Soekarno tidak secara otomatis mengagumi keluarga yang lain,” ujarnya.
Dedi menambahkan, untuk tampil dalam panggung utama Indonesia, ada dua hal yang harus dimiliki. Yang pertama adalah keterusungan publik dan keterusungan partai politik. Dari dua modal tersebut, saat ini hanya klan Megawati yang memiliki.
Di klan Mega sendiri, Dedi menilai sudah ada tanda-tanda yang perlu dicermati. Nama Puan yang digadang-gadang meneruskan Mega tidak cukup kuat. Bukan hanya di level umum, bahkan di internal PDIP juga. Berbagai hasil survei, juga polemiknya dengan Ganjar Pranowo, kader PDIP yang sekarang menjadi gubernur Jawa Tengah, belum lama ini setidaknya juga memperlihatkan hal itu: bahwa Puan bukan ”matahari tunggal” di PDIP untuk 2024.
Terkait kans ke depan, Dedi menilai tren politik Indonesia sudah tidak relevan berbicara keluarga tokoh terdahulu.
”Keterpilihan mereka, popularitas mereka, eksistensi mereka, sama sekali akan bergantung pada bagaimana mereka mengelola trust (kepercayaan) publik,” tuturnya.
Bahkan, Dedi memprediksi peran trah Soekarno di PDIP juga berpotensi luntur setelah Megawati ”selesai”. Penyebabnya tak lain karena Puan tak cukup kuat. Bahkan, elektabilitas PDIP dalam berbagai survei jomplang dengan elektabilitas Puan sebagai putri mahkota.
”Sebetulnya ini sudah tampak sejak 2014. Ketika justru Jokowi muncul. Sudah ada tanda bahwa trah Soekarno tidak lagi jadi pilihan,” jelasnya.
Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin sepakat bahwa hanya klan Megawati dari keseluruhan trah Soekarno yang cukup menonjol dalam perpolitikan nasional. Dia menilai hal itu tak terlepas dari vokalnya Megawati di era Orde Baru.
Setelah itu Mega memperkuat modal politiknya dengan mendirikan partai sendiri bernama PDI Perjuangan. Selama lebih dari dua dekade, dia menjadi ketua umum partai dan posisinya tak tergantikan. Namun, menurut Ujang, puncak karier yang paling gemilang adalah ketika Megawati berhasil menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Rachmawati Soekarnoputri Keberhasilan tersebut, lanjut Ujang, berusaha diteruskan anak-anaknya. Terutama Puan Maharani yang terlihat jelas dikader dalam jalur politik. Namun, dalam langkah politik tersebut, Ujang menilai Puan perlu membangun kualitas pribadi sendiri yang mumpuni, terlepas dari identitasnya sebagai trah Soekarno. ”Langkah Puan untuk menjadi capres atau cawapres masih terganjal oleh rendahnya elektabilitas yang dimiliki,” jelas Ujang Jumat (25/6).
Pun demikian jika membawa nama trah Soekarno, Ujang memperkirakan ke depannya tak akan terlalu berpengaruh atau menjual. Meskipun Soekarno politikus dan pemimpin yang hebat, zamannya telah berbeda dan konstruksi politik saat ini juga berubah.
Dari kalangan PDIP, Eva Kusuma Sundari, politikus senior partai banteng itu, mengatakan, trah Bung Karno muncul dan besar secara organik di dunia politik. Saat menjadi presiden, Bung Karno tidak mendidik anaknya secara khusus menjadi presiden untuk menggantikannya. ”Saat itu Bung Karno sangat sibuk melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara,” terangnya.
Terkait regenerasi di tubuh PDIP dan peluang Puan Maharani sebagai penerus trah Bung Karno di dunia politik, direktur Institut Sarinah itu mengatakan, saat ini Puan-lah yang memegang golden ticket menjadi calon presiden. Jadi, Puan mempunyai peluang besar untuk maju pada Pilpres 2024.
Puan sudah berpengalaman di eksekutif dan legislatif. Sekarang dia menjadi ketua DPR RI. Namun, kata Eva, hal itu sangat bergantung kepada Megawati sebagai ketua umum PDIP dan juga tergantung pada keinginan rakyat. Sebab, sampai saat ini elektabilitas Puan masih rendah. Banyak yang harus diperbuat Puan. ”Mbak Puan harus bisa merebut hati rakyat,” tuturnya.